TMÂ Surabaya – Pemkot Surabaya berupaya untuk menekan kasus kekerasan perempuan dan anak yang terjadi di Kota Pahlawan. Apalagi Kota Surabaya disebut dengan Kota Layak Anak (KLA), untuk memasifkan itu Pemkot membuat kebijakan program disebut Kampunge Arek Suroboyo Ramah Perempuan dan Anak (KAS-RPA).
Koordinator Tim KAS-RPA Kota Surabaya, Martadi mengatakan, program ini merupakan terjemahan Surabaya Kota Responsif Gender juga sebagai Kota Layak Anak (KLA).
“Kalau kita ingin menyebut kota itu layak anak, ya di kecamatan sampai dengan kelurahan juga harus layak anak,” kata Martadi, Sabtu (20/5/2023).
Martadi menjelaskan, program ini untuk meningkatkan pemberdayaan di kelurahan dan kecamatan yang belum maksimal menggerakkan agar lebih responsif menangani masalah yang melibatkan perempuan dan anak.
“Jadi yang kami telah sosialisasi ini adalah kecamatan yang kampung-kampungnya kurang maksimal atau belum tersentuh program ini,” ujarnya.
Agar program ini maksimal, Martadi menargetkan, di tahun 2023 seluruh kampung di Surabaya sudah tersentuh seluruhnya dalam menerapkan responsif gender dan layak anak.
Kata dia, indikator kampung tersebut bisa disebut responsif gender yaitu, sudah ada kebijakan dari kelurahan dan kecamatan mengenai program KAS-RPA.
Kemudian, indikatornya juga adanya sumber daya manusia (SDM) yang menangani persoalan responsif gender dan layak anak.
Indikator selanjutnya, yakni ketersediaan sarana dan prasarana serta alokasi dana penunjang untuk kampung responsif gender dan layak anak.
Tak hanya itu, data permasalahan gender dan anak yang terjadi di suatu kampung dan program riil yang diterapkan di lapangan dalam menangani permasalahan gender dan layak anak.
Lebih lanjut Martadi menjelaskan, Pemkot Surabaya juga akan melibatkan atau memberi ruang kepada mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakat untuk membantu program agar maksimal.
“Setelah kita rekrut (mahasiswa atau lembaga swadaya), akan dibekali mengenai program ini agar sama persepsinya dengan program ini secara berkelanjutan. Kalau hanya mengandalkan jajaran DP3A-PPKB tentu akan kurang maksimal,” tuturnya.
Ia berharap, program ini bisa mengatasi persoalan responsif gender dan anak ini bisa terus dilakukan di Surabaya.
Semakin kompleksnya persoalan kasus kekerasan perempuan dan anak di perkotaan, dirinya ingin kasus-kasus tersebut bisa ditangani secara berkelanjutan dan tidak menunggu saat terjadi permasalahan.
“Oleh karena itu harus dibangun mulai dari hulu ke hilir, juga diimbangi dengan kegiatan-kegiatan preventif di perkampungan untuk menekan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak,” tandasnya. [redho]