Tuesday, December 10, 2024
spot_img
HomeNasionalMantap.. Ditjen PPTR Kementrian ATR/BPN Berhasil Pidanakan Mafia Lahan

Mantap.. Ditjen PPTR Kementrian ATR/BPN Berhasil Pidanakan Mafia Lahan

HEADLINE NEWSspot_img
TM Jakarta – Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) melalui Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (Ditjen PPTR), Direktorat Penertiban Pemanfaatan Ruang, berhasil menyeret salah satu pengembang nakal di Batam, yakni PT Megah Karya Nanjaya, yang terbukti memperjualbelikan kavling di kawasan Hutan Lindung Sei Hulu Lanjai. Kini, kasusnya telah diproses ke ranah hukum pidana.
Kasus ini tercatat sebagai momentum perdana bagi Kementerian ATR/BPN untuk membuat efek jera bagi mafia lahan. Terbukti Melanggar Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Prov. Kepulauan Riau dan UU Penataan Ruang
Direktur Penertiban Pemanfaatan Ruang, Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang, Kementerian ATR/BPN Ariodillah Virgantara menjelaskan, penyidikan kasus perubahan fungsi lahan di kawasan hutan lindung yang diperjualbelikan didasarkan pada hasil audit tata ruang Kawasan Strategis Nasional Batam, Bintan, dan Karimun oleh Kementerian ATR/BPN pada tahun 2019.
“Ditemukan ketidaksesuaian rencana tata ruang dengan implementasi di lapangan. Ternyata, hasil audit yang seharusnya hutan, sudah tidak menjadi hutan lagi. Setelah ditelusuri melalui citra satelit tahun 2020, 2021, dan 2022 terdapat gerakan, di mana tutupan yang masih ada pada tahun 2017, mulai dibongkar. Selanjutnya, lahan tersebut dijadikan kavling-kavling yang dijual dengan harga murah,” kata Ariodillah Virgantara dalam keterangannya tertulis yang dilansir dari situs resmi bpn.go.id, Senin (22/5/2023).
Diakui Arodillah Virgantara, setelah proses audit, Ditjen PPTR Kementerian ATR/BPN telah memasang plang peringatan di kawasan Hutan Lindung Sei Hulu Lanjai. Pada plang peringatan tersebut, jelas tertulis mengenai Peraturan Daerah Pasal 73 huruf c dan d pada Perda Prov. Kepulauan Riau Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Riau Tahun 2017-2037 yang menyebutkan larangan perluasan lahan pemukiman atau budidaya dan melakukan kegiatan yang mengakibatkan perubahan dan kerusakan dan ekosistemnya sehingga mengurangi fungsi kawasan.
Pada plang peringatan tersebut tertulis juga ancaman pidana Pasal 69 ayat (2) dan Pasal 17 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menyatakan bahwa setiap orang yang dalam melakukan usaha dan/atau kegiatannya memanfaatkan ruang yang telah ditetapkan tanpa memiliki persetujuan kesesuaian pemanfaatan ruang dan mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidanakan dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan denda paling banyak Rp2,5 miliar.
“Direktorat Penertiban Pemanfaatan Ruang, Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang telah dua kali memasang plang peringatan yang melarang pembangunan di daerah hutan lindung. Plang pertama, dibangun tahun 2020 dan tidak lama sudah dibongkar oleh oknum yang tidak dikenal. Kemudian, kami memasang kembali plang peringatan pada tahun 2022, yang menyatakan kawasan hutan tidak diperkenankan untuk dilakukan pembangunan,” ungkapnya.
Sayangnya, plang peringatan tidak dihiraukan dan aktivitas pembangunan tetap berjalan dengan sejumlah rumah yang telah berdiri, maka berdasarkan bukti-bukti tersebut, Ariodillah menegaskan, Budi Sudarmawan selaku Direktur Utama PT Megah Karya Nanjaya terbukti telah melakukan tindakan ilegal dan melanggar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 69.
Kemudian, Direktorat Penertiban Pemanfaatan Ruang, Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang menindaklanjuti ke Pemerintah Kota Batam, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau hingga Kepolisian Daerah untuk melakukan penindakan terhadap tersangka.
“Sejak Undang-undang Penataan Ruang berlaku sejak tahun 2007, baru pada tahun 2023 atau selama 16 tahun terdapat pelanggar tata ruang yang merugikan negara sebesar Rp. 77 miliar ini dikenai sanksi pidana. Dalam proses yang berjalan hampir satu tahun, Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang telah menemukan tersangka dan berkas perkaranya telah lengkap atau P21. Berkas telah diserahkan ke Kejaksaan Negeri Batam dan akan sidang dua minggu lagi,” tegasnya.
Gunakan Masterplan Palsu Kelabui Konsumen
Ariodillah menjelaskan, kasus hutan lindung yang diperjualbelikan ini tidak hanya merugikan negara, namun juga warga. Apalagi, kasus ini telah masuk ke tahap transaksi jual beli yang dilakukan oleh tersangka secara sepihak. Bahkan, telah terdapat kurang lebih 60 konsumen yang dirugikan.
“Jadi, tersangka menjual kavling dengan sangat murah. Satu kavling itu dengan perkiraan luasan sebesar 50–60 meter persegi dengan harga antara Rp10 juta – Rp20 juta. Tersangka ini membuat masterplan palsu yang dikarang sendiri dan dibuat sendiri tanpa persetujuan Badan Pengusahaan (BP) Batam,” imbuhnya.
Kementerian ATR/BPN Tetap Pikirkan Nasib Konsumen
Sesuai dengan peraturan yang berlaku, sambung Arodillah, bangunan yang berdiri tetap dibongkar dan akan dipulihkan fungsi ruang untuk dijadikan hutan kembali. Oleh karena itu, Kementerian ATR/BPN tengah mencari solusi agar nasib masyarakat pembeli kaveling tersebut dapat tertangani dengan baik.
“Memang secara tugas bukan tugas Kementerian ATR/BPN, namun Kejaksaan Negeri Batam menitipkan pesan untuk untuk memikirkan nasib para pembeli kaveling mengingat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berencana melakukan penghijauan kembali, sehingga mau tidak mau masyarakat yang telah membangun rumah harus digeser dari kawasan lahan hutan lindung tersebut. Rencananya, Kementerian ATR/BPN akan berkoordinasi dengan pihak Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk menyediakan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) untuk menampung pembeli kaveling yang dirugikan,” ujarnya.
Arodillah mengingatkan bahwa masyarakat yang hendak membeli perumahan agar memeriksa sertifikat. “Didalam sertifikat terdapat unsur 3R (Right, Restriction, Responsibility). Rights merupakan hak yang diberikan oleh negara dan terdapat property right dan development right. Kemudian, restriction, batasan yang harus diikuti, dan responsibility, tanggung jawab pemilik tanah,” tandasnya. (Red/Hum)

Editor: Rendy

spot_img
RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

You cannot copy content of this page