Tuesday, December 10, 2024
spot_img
HomeSorot InvestigasiMiris!! Dalam 5 Bulan Kebelakang, 202 Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual

Miris!! Dalam 5 Bulan Kebelakang, 202 Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual

HEADLINE NEWSspot_img
TM Jakarta – Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melakukan pendataan kasus kekerasan seksual (KS) yang terjadi di wilayah satuan pendidikan yang berada di bawah kewenangan KemendikbudRistek maupun Kementerian Agama RI. Pendataan dilakukan sejak Januari sampai dengan Mei 2023. Data menunjukkan bahwa sejak 5 bulan di tahun 2023 sudah terjadi 22 kasus KS di satuan pendidikan dengan jumlah korban mencapai 202 anak atau peserta didik.
Adapun pelaku KS adalah orang-orang yang seharusnya dihormati dan melindungi para peserta didik selama berada di satuan pendidikan. Para pelaku terdiri dari Guru sebanyak 31,80%; Pemilik dan atau Pemimpin Pondok Pesantren sebanyak 18,20%; Kepala Sekolah sebanyak 13,63%; guru ngaji (satuan pendidikan informal) sebanyak 13,63%; Pengasuh asrama/pondok sebanyak 4,5%; Kepala Madrasah sebanyak 4,5%; penjaga sekolah (4,5%); dan lainnya (9,%).
Dari 22 kasus KS yang terjadi disatuan pendidikan sepanjang Januari-Mei 2023, sebanyak 50% terjadi di satuan pendidikan di bawah KemendikbudRistek, dari 11 kasus tersebut ada 1 kasus KS terjadi di luar sekolah, namun pihak sekolah melakukan dugaan kekerasan dengan “memaksa orangtua membuat surat pengunduran diri” karena dianggap memalukan sekolah. Padahah anak korban siswa dari keluarga tidak mampu dan merupakan korban perkosaan 8 orang tetangganya. Kasus KS ini terjadi di Kabupaten Banyumas.
Sedangkan 8 kasus atau 36,36% terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama, dan 3 kasus (13,63%) terjadi di lembaga pendidikan informal, yaitu tempat pengajian di lingkungan perumahan, dimana korban mencapai puluhan. Korban guru ngaji di kabupaten Batang, Jawa Tengah mencapai 21 korban; di Sleman mencapai 15 korban; dan di Garut mencapai 17 korban. Usia korban berkisar 5 s.d. 13 tahun. Perlu dipikirkan mekanisme pengawasan lembaga pendidikan informal seperti tempat mengaji ini agar anak-anak tidak lagi menjadi korban KS.
Kasus siswi hamil dikeluarkan dari sekolah seperti terjadi di Banyumas bukan satu-satunya kasus, pada awal 2023, seorang siswi kelas enam SD di Binjai, Sumatera Utara diusir oleh warga dan putus sekolah setelah diketahui hamil akibat diperkosa. Pada 2021, dua santriwati korban pemerkosaan guru pesantren di Garut dikeluarkan dari sekolah setelah ketahuan memiliki bayi. Padahal, anak-anak tersebut berhak melanjutkan pendidikannya demi masa depan yang lebih baik. Memaksa ortu korban mengundurkan diri, berarti pihak sekolah sudah menghilangkan hak atas Pendidikan anak korban perkosaan tersebut.
Wilayah Kejadian Dan Modus Pelaku
Adapun wilayah kejadian berada di 8 (tujuh) provinsi dan 18 kabupaten/kota dengan rincian kabupaten/kota sebagai berikut :
1. Provinsi Lampung : kabupaten Mesuji, Lampung Tengah, Lampung Selatan, Lampung Utara dan Lampung Barat;
2. Provinsi Jawa Tengah : Kabupaten Batang, Kota Semarang dan Kabupaten Banyumas;
3. Provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta : Kabupaten Gunung Kidul dan Sleman
4. Provinsi Jawa Timur : Kabupaten Jember, Kota Surabaya dan Kab. Trenggalek
5. Provinsi DKI Jakarta : Kota Jakarta Timur
6. Provinsi Bengkulu : Kab. Rejang lebong
7. Provinsi Sulawesi Selatan : Kota Pare Pare dan Kota Makasar
8. Sumatera Utara : Labuhanbatu Utara
Modus Kekerasan Seksual (KS)
Dari 22 kasus di tahun 2023 ini, FSGI mencatat ada 13 modus pelaku dalam melancarkan aksi bejatnya terhadap anak korban, yaitu sebagai berikut :
(1) Dibujuk agar mendapatkan barokah dari Tuhan oleh pelaku yang pemilik Ponpes;
(2) valuasi pembelajaran di dalam ruang Podcast Ponpes pada pukul 23.00 wib kemudian dicabuli;
(3) Diiming-imingi uang dan jajanan oleh pelaku;
(4) Lapor dilecehkan teman sekolah ke Kepala sekolah, malah dicabuli Kepsek di ruang UKS dengan dalih memeriksa dampak pelecehan yang dilaporkan;
(5) Guru kelas menyentuh pinggang dan dada, siswinya melawan, namun si guru malah mengulangi;
(6) Guru agama periksa PR, siswi dipangku dan diminta kakinya mengangkang;
(7) Pelaku bukan guru, ybs berkenalan dengan anak korban melalui medsos, lalu dimasukan korban ke grup WA teman sekolahnya, pelaku melakukan video call, mengirimi video porno dan melakukan kekerasan seksual berbasis daring terhadap 22 siswi SD dari sekolah yang sama;
(8) korban diberi uang dan diajak ke kantin, lalu di ciumi dan diremas dadanya;
(9) menutup muka korban dengan handuk saat pembelajaran terkait materi indera perasa, pelaku kemudian cabuli korban;
(10) saat bertindak sebagai pembina dalam kegiatan Masa Bimbingan Fisik dan Mental (Madabintal ) peserta didik baru di bumi perkemahan, pelaku mencabuli 3 siswi yang merupakan kawan 1 kelompok di salah satu Pos jaga;
(11) Pelaku berpura-pura menikahi korban secara siri tanpa wali maupun saksi nikah. Setelahnya, Pelaku melakukan kekerasan seksual kepada para santriwatinya dengan dalih sudah suami istri.
(12) Pelaku berdalih menghukum korban karena melakukan pelanggaran saat proses pembelajaran
(13) Pelaku berdalih bahwa anak-anak korban sudah biasa memeluk dan menciumi sebagai ganti salim (jabat tangan)
Rekomendasi
1. FSGI mendukung KemendikbudRistek melakukan perubahan terhadap Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan tindak kekerasan di satuan Pendidikan, khususnya meruinci apa saja perilaku di sekolah yang termasuk kekerasan seksual.
2. FSGI mendorong Kementerian PPPA untuk terus mensosialisasi juga hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau Whatsapp 08111-129-129 untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialami dan mendorong pembentukan sekolah-sekolah ramah anak.
3. FSGI juga mendorong Kementerian Agama RI untuk melakukan sosialisasi dan implementasi kebijakan PMA No. 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan penanggulangan Kekerasan seksual di Madrasah dan pondok pesantren atau satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemenag, mengingat kasus KS nya lebih tinggi jika dibandingkan dengan satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemendikbudristek;
4. FSGI mendorong Dinas-dinas Pendidikan Kabupaten/Kota/Provinsi dan Kantor Kemenag Kabupaten/Kota/Provinsi untuk melakukan Kerjasama dengan SKPD di daerah seperti Dinas PPPA dan P2TP2A Kabupaten/Kota/Provinsi dalam penanganan psikologi anak-anak korban kekerasan seksual, mengingat guru-guru BK tidak ada di jenjang Pendidikan Sekolah Dasar (SD);
5. FSGI mendorong pemerintah daerah untuk melakukan Kerjasama dengan Perguruan-perguruan Tinggi di wilayahnya yang memiliki Fakultas Psikologi untuk membantu pemulihan psikologi anak-anak korban kekerasan seksual, mengingat proses pemilihan psikologi anak korban KS umumnya membutuhkan waktu pemulihan yang cukup Panjang dan harus tuntas. (**)

Editor: Rendy

spot_img
RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

You cannot copy content of this page